Terikatnya jalinan cinta dua
orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat
diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan
untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini
sebagai bahan candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Salah
satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi
teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup,
insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam
bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati,
teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Sungguh
sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum
muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti
pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan
kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian
lagi memilih pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka
berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana
kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka
pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan
hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat,
yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan
hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
Setiap
muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan
sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini
adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam
memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Sedangkan
taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim
berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi
Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita
biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu
pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian,
niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
“Jika
datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di
muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika
demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian
dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak
tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang
oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.
Maka
pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang
agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah
adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab,
Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah
sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan.
(Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan
kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang
menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita
yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki
yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita
biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena
kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu
pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian,
niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu
hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan
sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini
diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha.
Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah
lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak
berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
3. Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan
faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena
paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya
dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang
keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan
dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam
hati.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan
di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri
dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,
وان نظر إليها سرته
“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh
karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang
yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita
yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada
seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا
“Sudahkah
engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu
bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata
orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)
4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah
(kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah
anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih
yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah
(membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang
parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan
mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun,
jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh
penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami
Khusus
bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu
kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki
kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan
kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak
istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam
kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
عن
فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم،
فقلت: إن أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم:”أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن
عاتقه
“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia
berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku
berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah
adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak
pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun
kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan
utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan
tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena
Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah
(menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan
pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض
“Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan
celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak
diberi ia marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga
berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada
para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah
untuk diberi rizki.
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang
yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah
satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam
adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih
selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih
calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:
1. Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah
sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan
maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena
itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang
istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan.
Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya
ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ
فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat
lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya
dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang
ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.
2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana
muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah.
Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan
ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Wahai Nabi katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau
lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak
berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا
“Wanita
yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan
melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan
masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya
surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan
dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana
muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak
ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan
lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak
meniru ciri khas busana laki-laki, dll.
Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.
3. Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum
wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam
hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu
tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang
haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami
berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam
pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير
“Menikahlah
dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat
hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih
kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil,
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
4. Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasan
pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak
dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang
baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
Alasan
kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik
berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua
orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah
permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak
yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki
pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus
suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki
pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
Konsekuensinya, anak yang
lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak
boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka
pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan
intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung
kepada Allah dari kejadian ini.
Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.
Demikian
beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang
hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha
untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha
ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan
doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah
satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah.
Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”
“Jika
kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua
raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan
ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin
wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
0 komentar:
Posting Komentar